Itu Tuhan, Memang Kenapa?

12 April 2007

Kalau memang Tuhan itu sudah memperkenalkan diriNya sendiri (untuk bagaimana mengetahui Tuhan yang mana, lihat tulisan sebelumnya), memang kenapa? Apa akibat atau konsekuensi dari kita mengenal atau tidak mengenal Tuhan ini?

Seperti tulisan saya yang pertama, mungkin bisa saya tambahkan juga, tanggapan kita bisa di-generalisasi-kan seperti berikut:

  1. “Wah, saya sudah dibesarkan di keluarga yang saleh dan beragama, jadi saya sudah mengenal Tuhan sejak kecil”
  2. “Saya sih sekarang sudah dewasa dan bisa berpikir sendiri, jadi ‘tuhan-tuhanan’ dan agama bukan untuk saya, yang penting hidup yang benar saja lah!! Beragama itu bagus, hanya untuk meningkatkan moral, cukup segitu saja lah!”
  3. “Wah, agama itu buatan manusia, orang yang terpelajar tentunya tahu itu!! ”
  4. “‘Banyak jalan menuju ke Roma’, begitu juga dengan agama, Tuhan yang mana saja akan berakhir di jalan yang benar!”

Tentunya banyak dari kita bisa dikategorikan di antara 4-poin di atas. Kategori apa kita saat ini, mungkin tidak sepenting apa akibat dari keputusan kita saat ini terhadap ‘ketuhanan’. Contoh:

Saat ini presiden Indonesia adalah si ‘SBY’. Apa akibatnya dari:

  1. “Saya sudah tahu dari kecil memang presiden itu ada!”, akibatnya: selama kita tahu bahwa si ‘SBY’ adalah presiden yang sah dan mengikuti peraturan kenegaraan-nya, sepertinya kita hidup tenang-tenang saja 🙂 .
  2. “Saya sekarang sudah dewasa, dan bisa berpikir sendiri, banyak peraturan di negara ini yang saya tidak setuju! Contohnya: saya bisa mengemudi seenak hati di jalan raya!”, akibatnya: kena tilang dari pak polisi deh!
  3. “Wah, presiden itu kan buatan rakyat, semua juga tahu itu, sedangkan saya tidak setuju dengan rakyat banyak! Contoh: Saya maunya mengemudi seenak hati di jalan raya!!”, akibatnya: kena tilang dari pak polisi lagi deh!
  4. “‘Banyak jalan menuju ke Roma’, begitu juga dengan peraturan negara, saya presiden di rumah dan kampung saya sendiri kok! Sehingga saya bisa mengikuti peraturan saya sendiri, sama saja kan! Contoh: saya bisa mengemudi seenak hati di jalan kampung!”, akibatnya: kalau memang tidak ada polisi di kampung, tapi jadinya menabrak orang, wah wah!!

Nah, sekarang bagaimana dengan ‘Tuhan’? Kalau memang ‘Tuhan’ yang sudah memperkenalkan diriNya sendiri memang berkata “Aku seperti polisi lalu-lintas, dan akibat dari melanggar peraturanKu adalah surat tilang!”. Wah, terus terang kita bisa lega, karena membayar tilang tidaklah begitu parah 😀 !

Masalahnya, bagaimana kalau ‘Tuhan’ ini sudah menetapkan peraturanNya, “PeraturanKu begini begitu, kalau kau melanggarNya, akibatnya adalah kau akan menderita beribu-ribu tahun!!”. Wah wah, kalau memang peraturanNya begitu keras, bukankah kita akan lebih serius untuk mau mengenal ‘Tuhan’ ini, karena kita takut akan konsekuensinya??

Kesimpulan: keputusan yang kita ambil harusnya berdasarkan akibat atau konsekuensi, dan bukanlah emosi semata (termasuk pendapat pribadi), setuju? Jadi, kalau memang ada ‘Tuhan’ yang telah menetapkan peraturanNya dengan konsekuensi yang dahsyat, bukankah kita mau mengenalNya lebih jauh??

4 Responses to “Itu Tuhan, Memang Kenapa?”

  1. igloo man Says:

    Sekarang masalahnya adalah apakah ‘Tuhan’ yang sudah memperkenalkan diriNya sendiri pada Rusdy adalah Tuhan yang asli? bukan Tuhan palsu?

    Lihat aja ciri2nya. Mana Tuhan asli dan mana yang bukan.

    Ciri2 Tuhan yang asli adalah ESA.
    bisa dilihat di http://agamaku.wordpress.com/2006/10/02/salib-katolik/#comment-5041

  2. Garam Dunia Says:

    Terima kasih untuk igloo man untuk meluangkan waktunya dan berkomentar di situs ini.

    Saya sangat setuju dengan pendapat anda, karena kita semua harus berpikir kritis dalam menentukan mana Tuhan yang benar dan yang palsu. Nah, untuk pendekatan logisnya, saya sudah kemukakan dari tulisan saya yang sebelumnya

    Setelah kita setuju bahwa ada Tuhan yang benar dan telah menunjukkan diriNya, maka kita hanya bisa menyimpulkan bahwa ciri-ciri Tuhan yang benar hanya bisa didefinisikan oleh Tuhan sendiri, bukan dari pengertian kita sendiri.

    Maksudnya, kalau Tuhan yang benar itu telah menunjukkan diriNya sebagai matahari yang mempunyai anak dalam bentuk pohon, bukankah Dia tetap Tuhan? Tidak perduli dengan pendapat pribadi kita?

    Harus diakui, dalam menjawab ke-Trinitas-an Allah di Alkitab, itu diluar keahlian saya. Tetapi Alkitab cukup jelas bahwa Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus telah ada dalam bentuk satu sebelum dunia diciptakan. Penjelasan teologianya? Terlalu panjang, tapi saya akan coba singkat jika memang anda tertarik untuk mengetahuinya.

    Daripada pusing, membuang waktu dan tenaga kita, saya hanya bisa mengundang anda untuk mengetahui apa kekristenan itu sendiri dari tulisan saya yang sebelumnya.

  3. Bayu Says:

    Maaf jika saya lancang.
    Saya sedikit mengutip kata2 saudara: “ciri-ciri Tuhan yang benar hanya bisa didefinisikan oleh Tuhan sendiri, bukan dari pengertian kita sendiri.”
    Kemudian sebelumnya Saudara mengatakan: “…kita semua harus ‘berpikir kritis’ dalam menentukan mana Tuhan yang benar dan yang palsu….”
    Truz Saudara mengatakan:”Maksudnya, kalau Tuhan yang benar itu telah menunjukkan diriNya sebagai matahari yang mempunyai anak dalam bentuk pohon, bukankah Dia tetap Tuhan? Tidak perduli dengan pendapat pribadi kita?”
    Yang saya tanyakan, dimana letak kekritisan kita dalam mencari Tuhan?Yang Saudara tekankan hanya mengacu pada Alkitab, padahal banyak agama/kepercayaan yang ada di dunia ini…Semuanya mengaku Tuhan sudah memperkenalkan diri-Nya melalui kitab suci, dll…..
    Jadi pada intinya semua kembali kepada kepercayaan tiap2 individu…
    Trima kasih..

  4. Rusdy Says:

    Bayu, anda sama sekali tidak lancang, tetapi kritis.

    Anda bertanya:
    “…banyak agama/kepercayaan yang ada di dunia ini…Semuanya mengaku Tuhan sudah memperkenalkan diri-Nya melalui kitab suci”

    Setuju, bentuk ‘Tuhan’nya berbeda-beda pula, tapi bagaimana mengetahui yang benar? Hanya dengan melakukan sedikit penelitian, kita dapat mengetahui tidak mungkin semuanya benar, karena mereka saling mengkontradiksi.

    Seperti yang anda katakan:
    “… dimana letak kekritisan kita dalam mencari Tuhan?”

    Nah, proposal yang saya ajukan adalah:
    “… ciri-ciri Tuhan yang benar hanya bisa didefinisikan oleh Tuhan sendiri, bukan dari pengertian kita sendiri”

    Setuju? Contoh:

    Saya suka coklat, lalu saya memberitahu teman saya si ‘A’ bahwa saya suka coklat. Lalu, si ‘B’ bertanya kepada si ‘A’, “Rusdy suka coklat tidak?”. Walaupun si A berpendapat lain, “Tidak, Rusdy hanya suka keju”, bukankah rusdy tetap suka coklat apa pun pendapat si A? Sayangnya, si ‘B’ mendapatkan informasi yang salah karena ‘pendapat’ si A.

    Sama dengan mengenal Tuhan yang sebenarnya, kita harus meneliti, informasi mana yang paling terpercaya dalam pengenalan Tuhan yang sebenarnya. Karena, tidak perduli pendapat si A, B atau C, kalau Tuhan sudah bilang “Ini Aku”, maka tentunya, Tuhan yang sebenarNya “itu Dia!”, bukan begitu?

    Jadi, intinya, saya tidak setuju dengan pernyataan anda:

    “Jadi pada intinya semua kembali kepada kepercayaan tiap2 individu”

    Itu namanya ‘ignorance’, karena pada kenyataannya, tidak perduli apa kepercayaan anda, Tuhan tetap TUhan, bukan begitu?


Leave a comment